nusakini.com-Jakarta- Di bidang penanggulangan bencana, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi non pemerintah yang terdepan dalam bergerak dan dipercaya oleh berbagai lembaga kemanusiaan internasional.

Tak jarang ketika sebuah bencana alam atau krisis kemanusiaan terjadi di tanah air, Muhammadiyah menjadi pihak non pemerintah pertama yang dihubungi oleh lembaga-lembaga asing tersebut.

“Ketika ada kejadian krisis kemanusiaan yang pertama kali dihubungi adalah Muhammadiyah karena sudah ter-record,” demikian ungkap Wakil Ketua MDMC, Rachmawati Husein dalam Gerakan Subuh Mengaji ‘Aisyiyah Jawa Barat.

Keterlibatan Muhammadiyah dalam kolaborasi penanggulangan bencana bersama lembaga asing dan lintas iman sejatinya telah dimulai sejak tahun 2004 melalui peristiwa Tsunami Aceh.

Pada momen itu, Muhammadiyah bekerja sama dengan Catholic Relief Service untuk mengurusi anak yatim piatu penyintas bencana, Islamic Relief untuk respon kedaruratan, World Vision International untuk perangkat pendidikan.

Selain nama-nama di atas, daftar lembaga asing yang bekerja sama dengan Muhammadiyah terus bertambah dalam setiap peristiwa kebencanaan di tanah air hingga saat ini.

Muhammadiyah juga menjalin kerja sama dengan pemerintah Jepang, Australia, Amerika Serikat dan berbagai negara lain, termasuk dengan berbagai cabang organisasi di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

“Jadi banyak sekali organisasi-organisasi dari asing yang melihat Muhammadiyah itu sudah memberikan manfaat sehinggga Muhammadiyah itu bisa dijadikan jalan untuk memberikan kemanfaatan yang lebih luas,” ungkap Rachmawati.

Selain karena transparansi dan program Muhammadiyah yang tepat sasaran, kepercayaan lembaga asing terhadap Muhammadiyah menurut Rachmawati terjadi karena kemampuan Muhammadiyah mengkoordinir seluruh jaringan yang dimilikinya secara efektif.

“Setiap ada bencana, relawan Muhammadiyah itu ada dua ribuan. Kalau itu tidak terorganisir, jalan sendiri-sendiri, ya tidak efektif,” sebutnya.

Dalam hal ini, MDMC sebagai lembaga penanggulangan bencana menurut Rachamawati bertindak sebagai koordinator.

Semua elemen di Persyarikatan dilibatkan untuk kegiatan SAR, evakuasi, dapur umum, pemetaan, transportasi, huntara, shelter hingga berbagai program pemulihan pasca bencana.

Karena itu, dirinya berpesan agar sifat terbuka dan kolaboratif yang telah menjadi ciri dari Muhammadiyah ini terus dijaga dan diperkuat agar kemanfaatan dan pengamalan Al-Ma’un kian luas.

“Budaya kolaborasi ini harus ada di setiap pimpinan dan anggota. Kalau apa-apa sudah alergi, sudah tidak mau bekerja sama, ya itu sudah susah. Nanti ada syak wasangka, prejudice. Nanti mikirnya wah kita nanti ditekan. Lho jangan mikir kita ditekan atau dipengaruhi, bagaimana kita mempengaruhi. Jadi budaya (kolaborasi) itu harus ada,” pungkasnya. (rls)